Penyakit Hati dan Mengobatinya

•February 28, 2019 • Leave a Comment

“Penyakit hati lebih bersifat batin, seperti riya, sum‘ah, ujub, takabur, iri, dengki dan hasut, serta tamak dan serakah, termasuk menganggap dirinyalah yang paling benar,” ujar Ustaz Mizaj Iskandar, saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Rabu (25/7) malam.

Ia memaparkan, tidak sedikit orang yang terlihat rajin dalam beribadah kepada Allah dalam kesehariannya, juga kerap dihinggapi penyakit hati. Hal ini terjadi sebagaiakibat merasa paling benar dengan ibadahnya dan menilai rendah orang lain. Sehingga nilai-nilai ibadahnya itu tidak tercermin dalam akhlak dan perilaku sehari-hari sehingga sering ia bermasalah dalam hubungan dengan sesama manusia dan makhluk Allah lainnya.

“Hati menduduki posisi sentral dalam kehidupan manusia, karena menjadi hakim dalam menentukan berbagai aktivitas. Jika hati atau qalbun ini berpenyakit, maka dapat dipastikan akan terjadi perilaku yang menyimpang dari ajaran agama Islam meski dia rajin beribadah. Jika hati telah terjangkit penyakit maka perlu diobati,” ujar Ustaz Mizaj Iskandar pada pengajian KWPSI yang dimoderatori Dosi Elfian dari Kompas TV Aceh.

Menurutnya, obat hati yang satu ini tidak cukup dengan berobat kepada dokter dengan memakai obat yang biasa. Namun memerlukan obat yang luar biasa, lebih ampuh yaitu dengan terapi hati, yang memakai tasawuf sebagai media terapi.

“Selain Tauhid dan Fiqh untuk beribadah kepada Allah, yang sangat penting lainnya untuk menjaga keseimbangan adalah Tasawuf. Ini memperbaiki akal budi manusia, melahirkan akhlak mulia dan mensucikan serta membersihkan hati dari berbagai penyakit batin,” terangnya.

Ia menjelaskan, dasar dari ajaran tasawuf adalah mensucikan diri dari dosa, mencari ridha Allah, dan hidup dalam keadaan zuhud. Baginya, akhirat itu lebih utama dari kehidupan dunia. Senantiasa mereka menghiasi hati dengan cinta dan menghias diri dengan akhlak yang mulia.

Dalam Alquran, ajaran tasawuf ini dijelaskan dalam Surat As-Syams ayat 9-10 yang artinya, “Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwanya”.

“Orang-orang yang beruntung adalah yang mensucikan jiwa sebagaimana ajaran tasawuf. Ini menjadi pendorong bagi muslim untuk memelihara hati dan menjaganya agar tidak terkotori oleh hal-hal duniawi atau hal-hal yang merusak ketentraman jiwa. Ini mendorong untuk senantiasa mencintai Allah dan Allah akan mengampuni dosa bagi yang mencintai Allah. Tentu ini pun juga menjadi dasar tasawuf bahwa kecintaan pada Allah adalah segala-galanya,” katanya.

Keutamaan Qiyamul Lail

•March 21, 2016 • Leave a Comment

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم: أي الصلاة أفضل بعد المكتوبة؟ قال: (الصلاة في جوف الليل))

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya: “Sholat apakah yang paling utama setelah sholat fardhu (yang lima waktu, pent) ?” beliau menjawab: “Sholat yang paling utama setelah sholat fardhu adalah sholat (sunnah) di tengah malam (sholat Tahajjud).”. (Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan Muslim).

(*) BEBERAPA PELAJARAN PENTING DAN FAEDAH ILMIYAH YANG DAPAT DIAMBIL DARI HADITS INI:

(*) PELAJARAN PERTAMA:
MAKNA HADITS SECARA GLOBAL

Di dalam hadits yg Shohih ini Nabi shallallahu alaihi wasallam menerangkan kepada kita bahwa Qiyamul Lail atau sholat sunnah yang dikerjakan di malam hari seperti sholat Tahajjud dan Witir adalah sholat sunnah yang paling utama setelah sholat fardhu yang lima waktu.

(*) PELAJARAN KEDUA:
PENGERTIAN QIYAMUL-LAIL

Arti Qiyamul-Lail ialah menghidupkan malam dengan ibadah-ibadah. Namun, yg dimaksud Qiyamul-Lail di sini adalah suatu penamaan untuk semua sholat sunnah yang dikerjakan di waktu malam setelah sholat ‘isya hingga tiba waktu sholat Subuh.

Oleh karenanya, yang termasuk Qiyamul-Lail (sholat malam) adalah: Sholat Tahajjud, sholat Witir,dan sholat Tarawih.

(*) Sholat Tahajjud adalah sholat yg dilaksanakan oleh seseorang di malam hari setelah tidur. Akan tetapi, sholat Tahajjud jg BOLEH dikerjakan sebelum tidur jika ia merasa khawatir tidak bisa bangun di tengah malam kecuali setelah tiba waktu sholat Subuh.

(*) Sholat Witir adalah sholat malam yang jumlah roka’atnya ganjil, seperti 1, 3, 5, 7, 9, 11 roka’at, dst.

(*) Dan sholat Tarawih adalah sholat sunnah yang disyari’atkan hanya di bulan suci Romadhon.

(*) PELAJARAN KETIGA:
HUKUM QIYAMUL LAIL DAN DALILNYA

Qiyamul Lail merupakan salah satu sholat yang disyariatkan dalam Islam. Dan hukumnya adalah SUNNAH MUAKKADAH (sangat dianjurkan). Hal ini berdasarkan dalil-dalil syar’i berikut ini:

1. Firman Allah ta’ala:

{يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (4)} [المزمل / 1- 4].

Artinya: “Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). (Yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan (tartil).” (QS. al-Muzzammil: 1-4).

2. Dan firman-Nya pula:
{وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (79)}

Artinya: “Dan pada sebagian malam hari, hendaklah engkau shalat Tahajud sebagai tambahan bagi engkau. Mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji.”. (QS : Al-Isro’ : 79).

3. Dan firman Allah ta’ala yang menerangkan sebagian sifat orang-orang yang bertakwa:
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ

Artinya: “Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.”. (QS. Adz-Dzaariyaat: 17).

4. Dan firman-Nya pula:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا

Artinya: “Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari.” (QS. Al-Insaan: 26).

5. Dan hadits shohih berikut ini:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم: أي الصلاة أفضل بعد المكتوبة؟ قال: (الصلاة في جوف الليل))

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya: “Sholat apakah yang paling utama setelah sholat fardhu (yang lima waktu, pent) ?” beliau menjawab: “Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat (sunnah) di tengah malam (sholat tahajjud).”. (Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan Muslim).

6. Dan hadits-hadits shohih lainnya.

(*) PELAJARAN KEEMPAT:
PERKATAAN ULAMA SALAFUS SHOLIH TENTANG QIYAMUL-LAIL

(*) Dalam sebuah atsar (riwayat) disebutkan: apabila orang-orang telah tidur, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu bangun dan akan terdengar darinya sebuah suara seperti suara dengungan lebah sampai waktu sholat Subuh tiba.

(*) Seseorang bertanya kepada al-Hasan al-Bashri (seorang ulama Tabi’in): “Mengapa orang-orang yang sholat Tahajjud (Qiyamul-Lail) memiliki wajah paling cerah di antara manusia lainnya?”, ia menjawab: “Karena mereka menyendiri dengan (Allah) sang Maha Pengasih, lantas Dia mengenakan kepadanya cahaya dari cahaya-Nya.”

(*) Hasan Al-Bashri juga berkata: “Sesungguhnya seseorang benar-benar telah berbuat dosa sehingga dengan sebab itu ia terhalang (atau tidak mampu) untuk melaksanakan sholat Tahajjud (Qiyamul-Lail).”

(*) Seorang laki-laki berkata kepada salah seorang sholih: “Aku tidak bisa bangun untuk sholat Tahajjud, bagaimana cara mengatasinya?”, ia menjawab: “Janganlah engkau bermaksiat kepada-Nya pada waktu siang, sehingga Dia akan menjadikanmu bangun di waktu malam (untuk Qiyamul-Lail) di hadapan-Nya.”

(*) Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri. (Seorang ulama Tabi’in), bahwasanya ia berkata: “Aku tidak bisa sholat Tahajjud (Qiyamul-Lail) selama lima bulan disebabkan sebuah dosa yang pernah aku lakukan.”

(*) Ibnul Munkadir berkata: “Tidak ada tersisa kenikmatan di dunia ini kecuali tiga hal: Qiyamul-Lail (sholat Tahajud), bertemu saudara (seiman), dan sholat berjama’ah.”

(*) PELAJARAN KELIMA:
KEUTAMAAN QIYAMUL-LAIL

Oleh : Ust. Muhammad Wasitho

Qiyamul-Lail merupakan ibadah sunnah yang memiliki banyak keutamaan dan keistimewaan sebagaimana diterangkan di dalm Al-Quran dan As-Sunnah. Berikut ini kami akan sebutkan beberapa keutamaannya, diantaranya:

1. Qiyamul-Lail merupakan sholat sunnah yang paling utama setelah sholat wajib yang 5 waktu.

Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم: أي الصلاة أفضل بعد المكتوبة؟ قال: (الصلاة في جوف الليل))

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya: “Sholat apakah yang paling utama setelah sholat fardhu (yang lima waktu, pent) ?” beliau menjawab: ““Sholat yang paling utama setelah sholat fardhu adalah shalat di tengah malam (sholat tahajjud).” (Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan Muslim).

2. Barangsiapa menunaikan Qiyamul-Lail, berarti ia telah mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya.

Hal ini sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam hari, sholat tahajjudlah kamu sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-Isro’:79).

Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor menerangkan: “At-Tahajjud adalah sholat di waktu malam sesudah bangun tidur. Adapun makna ayat “sebagai ibadah nafilah” yakni sebagai tambahan bagi ibadah-ibadah yang fardhu. Disebutkan bahwa sholat lail itu merupakan ibadah yang wajib bagi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan sebagai ibadah tathowwu’. (sunnah) bagi umat beliau.” (Lihat Zubdatut Tafsir, hal. 375 dan Tafsir Ibnu Katsir: III/54-55).

3. Melaksanakan Qiyamul Lail itu adalah kebiasaan orang-orang sholih dan calon penghuni Surga.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ , آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ , كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ * وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, (yakni) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzariyat: 15-18).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّيْ مِنَ

“Sebaik-baik orang adalah Abdullah (yakni Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, pent) seandainya ia mau sholat di waktu malam.”. (HR. Muslim No. 2478 dan 2479).
Dan diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah menasihatiku dengan sabdanya:
يا عبد الله لا تكن مثل فلان كان يقوم الليل فترك قيام الليل

“Wahai Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti si fulan, ia dahulu mengerjakan sholat malam, lalu ia meninggalkannya.” (HR. Imam al-Bukhari III/31, dan Muslim II/185).

4. Mengerjakan Qiyamul-Lail (sholat Tahajjud) adalah salah satu sebab dihapuskannya kesalahan-kesalahan dan terhindar dari dosa-dosa.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِـحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الْإِثْمِ.

“Hendaklah kalian melakukan sholat malam karena ia adalah kebiasaan orang-orang sholih sebelum kalian, ia sebagai amal taqorrub bagi kalian kepada Allah, menjauhkan dosa, dan penghapus kesalahan.”. (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3549), al-Hakim (I/308), dan al-Baihaqi (II/502), dari jalan Shahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallaahu anhu).

5. Mengerjakan Qiyamul-Lail (sholat Tahajjud) merupakan kemuliaan dan kewibawaan bagi seorang Mukmin.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
أَتَانِـيْ جِبْـرِيْلُ فَقَالَ: يَا مُـحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحْبِبْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْـمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ، وَعِزُّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ.

“Malaikat Jibril mendatangiku, lalu berkata: “Hai Muhammad, hiduplah sekehendakmu karena kamu (pasti) akan mati. Cintailah seseorang sekehendakmu karena kamu (pasti) akan berpisah dengannya. Dan beramallah sekehendakmu karena kamu (pasti) akan diberi balasan (oleh Allah pd hari Kiamat, pent). Dan ketahuilah, bahwa kemuliaan dan kewibawaan seorang Mukmin itu ada pada sholat malamnya, dan ia tidak merasa butuh kepada manusia.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim IV/325, dan ia menshohihkannya, serta disepakati oleh imam adz-Dzahabi. Derajat Hadits ini dinyatakan HASAN oleh al-Mundziri dalam at-Targhiib wa at-Tarhiib I/640, dan Syaikh al-Albani dalam Silsilah Al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 831).

6. Barangsiapa yang mengerjakan Qiyamul Lail (sholat Tahjjud) dengan niat ikhlas karena Allah semata dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka ia akan terpelihara dari gangguan setan, dan ia akan bangun di pagi hari dalam keadan segar dan bersih jiwanya. Namun sebaliknya, barangsiapa yang meninggalkan Qiyamul Lail (sholat Tahajjud), Maka dia akan bangun di pagi hari dalam keaadan jiwanya dililit kekalutan (kejelekan) dan malas untuk beramal sholih.

Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلَاثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ. فَإِنْ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ

“Setan mengikat tengkuk kepala seseorang dari kalian saat dia tidur dengan tiga tali ikatan, dimana pada tiap ikatan tersebut dia meletakkan godaan, “Kamu mempunyai malam yang sangat panjang, maka tidurlah dengan nyenyak.” Jika dia bangun dan mengingat Allah, maka lepaslah satu tali ikatan. Lalu jika dia berwudhu, maka lepaslah tali ikatan yang lainnya. Dan jika dia mendirikan sholat (malam), maka lepaslah seluruh tali ikatannya sehingga pada pagi harinya dia akan merasakan semangat & baik jiwanya. Namun bila dia tak melakukan hal itu, maka pagi harinya jiwanya menjadi jelek & menjadi malas beraktifitas”. (HR. Imam Al-Bukhari no. 1142, & Muslim no. 776).

Dan pada suatu hari pernah diceritakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang seseorang yang tidur semalam suntuk hingga pagi (yakni tiba waktu Subuh tanpa melakukan Qiyamul-Lail, pent), maka beliau bersabda:
ذاك رجل بال الشيطان في أذنيه

“Orang tersebut telah dikencingi setan di kedua telinganya.” (HR. Imam al-Bukhari dan Muslim).

7. Barangsiapa yang mengerjakan Qiyamul Lail (sholat Tahajjud), maka ia berkesempatan mendapatkan 1/3 (sepertiga) malam terakhir yang merupakan waktu dimana doa akan dikabulkan, dan dosa-dosa akan diampuni Allah Ta’ala bila ia memohon ampunan kepada-Nya.

Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:

Dari Jabir bin Abdillah dia berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya di waktu malam terdapat suatu saat, tidaklah seorang muslim mendapati saat itu, lalu dia memohon kebaikan kepada Allah Ta’ala dari urusan dunia maupun akhirat, melainkan Allah akan memberikannya kepadanya. Demikian itu terjadi pada setiap malam.” (HR. Muslim no. 757).

Di dalam hadits shohih yg lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda (yg artinya):

“Rabb kita (Allah tabaroka wata’ala) turun setiap malam ke langit dunia ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berfirman: “Barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya. Barangsiapa yang memohon (sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku pun akan memberinya. Dan barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya.” (HR. Imam al-Bukhari).

8. Orang yang mengerjakan Qiyamul Lail secara kontinue (istiqomah) akan digolongkan ke dalam golongan orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah.

Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:
مَنْ اسْتَيْقَظَ مِنْ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا مِنْ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ

“Barangsiapa yang bangun malam dan membangunkan istrinya, kemudian mereka berdua melaksanakan shalat dua rakaat, maka mereka berdua akan digolongkan ke dalam golongan para lelaki dan para wanita yang banyak berdzikir (mengingat) kepada Allah.”. (HR. Abu Daud no. 1309, Ibnu Majah no. 1335, dan dinyatakan SHOHIH oleh syaikh Al-Albani di dalam Misykaatu al-Mashoobiih: I/390).

Demikian beberapa keutamaan Qiyamul-Lail (sholat Tahajjud) yang dapat kami sebutkan. Semoga Allah Ta’ala memberikn taufiq dan kemudahan kepada kita semua agar bersemngat dalam mengerjakannya dengan istiqomah hingga akhir hayat.

pembelajaran kooperatif siswa

•June 23, 2009 • Leave a Comment

Group Investigationn merupakan salah satu bentuk model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari melalui internet. Siswa dilibatkan sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Tipe ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok. Model Group Investigation dapat melatih siswa untuk menumbuhkan kemampuan berfikir mandiri. Keterlibatan siswa secara aktif dapat terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran.

Dalam metode Group Investigation terdapat tiga konsep utama, yaitu: penelitian atau enquiri, pengetahuan atau knowledge, dan dinamika kelompok atau the dynamic of the learning group, (Udin S. Winaputra, 2001:75). Penelitian di sini adalah proses dinamika siswa memberikan respon terhadap masalah dan memecahkan masalah tersebut. Pengetahuan adalah pengalaman belajar yang diperoleh siswa baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan dinamika kelompok menunjukkan suasana yang menggambarkan sekelompok saling berinteraksi yang melibatkan berbagai ide dan pendapat serta saling bertukar pengalaman melaui proses saling beragumentasi.

Slavin (1995) dalam Siti Maesaroh (2005:28), mengemukakan hal penting untuk melakukan metode Group Investigation adalah:

1. Membutuhkan Kemampuan Kelompok.

Di dalam mengerjakan setiap tugas, setiap anggota kelompok harus mendapat kesempatan memberikan kontribusi. Dalam penyelidikan, siswa dapat mencari informasi dari berbagai informasi dari dalam maupun di luar kelas.kemudian siswa mengumpulkan informasi yang diberikan dari setiap anggota untuk mengerjakan lembar kerja.

2. Rencana Kooperatif.

Siswa bersama-sama menyelidiki masalah mereka, sumber mana yang mereka butuhkan, siapa yang melakukan apa, dan bagaimana mereka akan mempresentasikan proyek mereka di dalam kelas.

3. Peran Guru.

Guru menyediakan sumber dan fasilitator. Guru memutar diantara kelompok-kelompok memperhatikan siswa mengatur pekerjaan dan membantu siswa mengatur pekerjaannya dan membantu jika siswa menemukan kesulitan dalam interaksi kelompok.

Para guru yang menggunakan metode GI umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 sampai 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen, (Trianto, 2007:59). Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan mempresentasikan laporannya di depan kelas.

Langkah-langkah penerapan metode Group Investigation, (Kiranawati (2007), dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Seleksi topik

Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.

2. Merencanakan kerjasama

Para siswa bersama guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) diatas.

3. Implementasi

Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan keterampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.

4. Analisis dan sintesis

Para siswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.

5. Penyajian hasil akhir

Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.

6. Evaluasi

Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.

Tahapan-tahapan kemajuan siswa di dalam pembelajaran yang menggunakan metode Group Investigation untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut, (Slavin, 1995) dalam Siti Maesaroh (2005:29-30):

Enam Tahapan Kemajuan Siswa di dalam Pembelajaran Kooperatif dengan Metode Group Investigation

Tahap I

Mengidentifikasi topik dan membagi siswa ke dalam kelompok.

Guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberi kontribusi apa yang akan mereka selidiki. Kelompok dibentuk berdasarkan heterogenitas.

Tahap II

Merencanakan tugas.

Kelompok akan membagi sub topik kepada seluruh anggota. Kemudian membuat perencanaan dari masalah yang akan diteliti, bagaimana proses dan sumber apa yang akan dipakai.

Tahap III

Membuat penyelidikan.

Siswa mengumpulkan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membuat kesimpulan dan mengaplikasikan bagian mereka ke dalam pengetahuan baru dalam mencapai solusi masalah kelompok.

Tahap IV

Mempersiapkan tugas akhir.

Setiap kelompok mempersiapkan tugas akhir yang akan dipresentasikan di depan kelas.

Tahap V

Mempresentasikan tugas akhir.

Siswa mempresentasikan hasil kerjanya. Kelompok lain tetap mengikuti.

Tahap VI

Evaluasi.

Soal ulangan mencakup seluruh topik yang telah diselidiki dan dipresentasikan.

Terkait dengan efektivitas penggunaan metode Metode Group Investigation ini, dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap siswa kelas X SMA Kosgoro Kabupaten Kuningan Tahun 2009 menunjukkan bahwa:

Pertama, dalam pembelajaran kooperatif dengan metode Group Investigation berpusat pada siswa, guru hanya bertindak sebagai fasilitator atau konsultan sehingga siswa berperan aktif dalam pembelajaran.

Kedua, pembelajaran yang dilakukan membuat suasana saling bekerjasama dan berinteraksi antar siswa dalam kelompok tanpa memandang latar belakang, setiap siswa dalam kelompok memadukan berbagai ide dan pendapat, saling berdiskusi dan beragumentasi dalam memahami suatu pokok bahasan serta memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi kelompok.

Ketiga, pembelajaran kooperatif dengan metode Group Investigation siswa dilatih untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi, semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari, semua siswa dalam kelas saling terlihat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut.

Keempat, adanya motivasi yang mendorong siswa agar aktif dalam proses belajar mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran.

Melalui pembelajaran kooperatif dengan metode Group Investigation suasana belajar terasa lebih efektif, kerjasama kelompok dalam pembelajaran ini dapat membangkitkan semangat siswa untuk memiliki keberanian dalam mengemukakan pendapat dan berbagi informasi dengan teman lainnya dalam membahas materi pembelajaran.

Dari hasil penelitian ini pula dapat disimpulkan bahwa keberhasilan dari penerapan pembelajaran kooperatif dengan metode Group Investigation dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kompleks, diantaranya: (1) pembelajaran berpusat pada siswa, (2) pembelajaran yang dilakukan membuat suasana saling bekerjasama dan berinteraksi antar siswa dalam kelompok tanpa memandang latar belakang, (3) siswa dilatih untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi, (4) adanya motivasi yang mendorong siswa agar aktif dalam proses belajar mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran.

menghafal al quran

•June 21, 2009 • Leave a Comment

Banyak sekali hadis yang memberitahukan betapa besar pahala dan kedudukan seorang hafiz Quran di sisi Allah. Namun, saya ingin membahas masalah ini bukan dari sisi pahala, melainkan dari sisi kehidupan kita sehari-hari sebagai manusia. Mengapa kita perlu menghafal Al Quran (minimalnya sebagian saja, syukur Alhamdulillah kalau mampu seluruhnya)? Mengapa kita perlu mengajarkan dan mendorong anak-anak kita untuk menghafal Al Quran?

Jawabannya, menurut penjelasan dari buku Hafezan-e Nur*, adalah demi mencapai ketenangan dalam kehidupan kita sendiri. Menghafal Al Quran yang ideal bukanlah proses menghafal ‘mulut’ (menghafal bunyi-bunyian, tanpa paham maknanya), apalagi proses untuk gaya-gayaan, “Anak saya sudah hafal 20
surat loh, padahal usianya baru
lima tahun!”

Menghafal Al Quran yang ideal adalah membaca ayat-ayat itu dengan tajwid yang benar, memahami makna kata-demi-kata, lalu berusaha ‘menyimpannya di dada’. Menghafal Al Quran adalah menyimpan kata-demi-kata dari “
surat cinta” Sang Kekasih di dalam benak dan hati kita. Ketika ayat-ayat yang berisi petunjuk menjalani kehidupan itu telah bersemayam dengan benar di dada kita, insya Allah, pencerahan-demi-pencerahan akan datang, ketenangan, dan rahmat akan menaungi kehidupan kita.

“…Wa nunazzilu minal Qurani maa huwa syifaaun wa rahmatun lil mu’miniin”
“… dan Kami turunkan dalam Al Quran penyembuh dan rahmat bagi orang yang beriman”
(Al Isra:82).

Tentu saja, kita tetap bisa mendapatkan (sebagian) rahmat dan ketenangan itu hanya dengan membaca dan mempelajari ayat-ayat Al Quran, tanpa perlu menghafalnya. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa dengan menghafalnya, kita akan masuk ke sebuah ‘dunia’ lain dari Al Quran. Kita akan dibawa ke sebuah keteraturan (karena proses menghafal Al Quran membutuhkan keteraturan program/jadwal), semacam ‘keterikatan khusus’ dengan ayat-ayat yang sedang kita hafalkan itu.

Kalaupun kemudian ayat-ayat yang sudah kita hafalkan itu akhirnya ‘terlupakan’, ketika kita mendengar ayat-ayat itu dibacakan oleh orang lain, kita akan merasa ‘dekat’ dengannya, dan ayat-ayat itu bukan lagi kalimat-kalimat ‘bahasa planet’ yang masuk telinga kiri dan keluar begitu saja dari telinga kanan.

Dengan menghafalkan Al Quran, kita akan merasakan bahwa ayat-ayat itu adalah kalimat-kalimat cinta dari-Nya. Hidup seperti apakah yang lebih indah daripada hidup dengan dinaungi oleh rasa cinta kepada-Nya?

Selanjutnya, marilah kita memandang kondisi sosial-masyarakat di sekitar kita yang begitu bobrok: pornografi merebak luas, korupsi merajalela, pemerkosaan, pembunuhan, penipuan menjadi berita sehari-hari …

Apa yang bisa kita lakukan dalam melindungi keluarga kita sendiri agar tidak terpolusi oleh berbagai fitnah dan maksiat itu? Cara terampuh adalah dengan mengenalkan anak-anak kepada panduan hidup yang paling benar: Al Quran.

Dengan mengajak mereka menghafalkan Al Quran (sekali lagi, dengan cara yang benar dan komprehensif, bukan asal hafal di mulut), kita sesungguhnya sedang mendidik sebuah generasi Qurani, yang menjadikan Al Quran sebagai panduan hidup mereka.

Ketika mereka menghafalkan Al Quran, sesungguhnya mereka sedang menyimpan ‘cahaya’ di dada mereka, dan cahaya itulah yang akan menerangi jalan mereka dalam setiap episode kehidupan.

Jadi, marilah kita bulatkan tekad untuk menyimpan baris-baris kalimat cinta itu di dada kita, di dada anak-anak kita — untuk menyimpan ‘cahaya’ itu.

kesalahan dalam pendidikan kita

•June 16, 2009 • Leave a Comment

PENDIDIKAN YANG MENJADI BOOMERANG.

Berikut ini ada ceritayang mungkin bisa menginspirasi kita.

Seorang teman saya yang bekerja pada sebuah perusahaan asing, di PHK akhir tahun lalu. Penyebabnya adalah kesalahan menerapkan dosis pengolahan limbah, yang telah berlangsung bertahun-tahun. Kesalahan ini terkuak ketika seorang pakar limbah dari suatu negara Eropa mengawasi secara langsung proses pengolahan limbah yang selama itu dianggap selalu gagal.

Pasalnya adalah, takaran timbang yang dipakai dalam buku petunjuknya menggunakan satuan pound dan ounce. Kesalahan fatal muncul karena yang bersangkutan mengartikan
1 pound = 0,5 kg. dan 1 ounce (ons) = 100 gram, sesuai pelajaran yang ia terima dari sekolah. Sebelum PHK dijatuhkan, teman saya diberi tenggang waktu 7 hari untuk membela diri dgn. cara menunjukkan acuan ilmiah yang menyatakan 1 ounce (ons) = 100 g.

Usaha maksimum yang dilakukan hanya bisa menunjukkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengartikan ons (bukan ditulis ounce) adalah satuan berat senilai 1/10 kilogram. Acuan lain termasuk tabel-tabel konversi yang berlaku sah atau dikenal secara internasional tidak bisa ditemukan.

SALAH KAPRAH YANG TURUN-TEMURUN.

Prihatin dan penasaran atas kasus diatas, saya mencoba menanyakan hal ini kepada lembaga yang paling berwenang atas sistem takar-timbang dan ukur di Indonesia, yaitu Direktorat Metrologi. Ternyata, pihak Dir. Metrologi-pun telah lama melarang pemakaian satuan ons untuk ekivalen 100 gram.

Mereka justru mengharuskan pemakaian satuan yang termasuk dalam Sistem Internasional (metrik) yang diberlakukan resmi di Indonesia. Untuk ukuran berat, satuannya adalah gram dan kelipatannya. Satuan Ons bukanlah bagian dari sistem metrik ini dan untuk menghilangkan kebiasaan memakai satuan ons ini, Direktorat Metrologi sejak lama telah memusnahkan semua anak timbangan (bandul atau timbal) yang bertulisan “ons” dan “pound”.

Lepas dari adanya kebiasaan kita mengatakan 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram, ternyata tidak pernah ada acuan sistem takar-timbang legal atau pengakuan internasional atas satuan ons yang nilainya setara dengan 100 gram. Dan dalam sistem timbangan legal yang diakui dunia internasional, tidak pernah dikenal adanya satuan ONS khusus Indonesia. Jadi, hal ini adalah suatu kesalahan yang diwariskan turun-temurun.
Sampai kapan mau dipertahankan ?

BAGAIMANA KESALAHAN DIAJARKAN SECARA RESMI ?

Saya sendiri pernah menerima pengajaran salah ini ketika masih di bangku sekolah dasar. Namun, ketika saya memasuki dunia kerja nyata, kebiasaan salah yang nyata-nyata diajarkan itu harus dibuang jauh karena akan menyesatkan.

Beberapa sekolah telah saya datangi untuk melihat sejauh mana penyadaran akan penggunaan sistem takar-timbang yang benar dan sah dikemas dalam materi pelajaran secara benar, dan bagaimana para murid (anak-anak kita) menerapkan dalam hidup sehari-hari. Sungguh memprihatinkan. Semua sekolah mengajarkan bahwa 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram, dan anak-anak kita pun menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari. “Racun” ini sudah tertanam didalam otak anak kita sejak usia dini.

Dari para guru, saya mendapatkan penjelasan bahwa semua buku pegangan yang diwajibkan atau disarankan oleh Departemen Pendidikan Indonesia mengajarkan seperti itu. Karena itu, tidaklah mungkin bagi para guru untuk melakukan koreksi selama Dep. Pendidikan belum merubah atau memberi-kan petunjuk resmi.

TANGGUNG JAWAB SIAPA ?

Maka, bila terjadi kasus-kasus serupa diatas, Departemen Pendidikan kita jangan lepas tangan. Tunjukkanlah kepada masyarakat kita terutama kepada para guru yang mengajarkan kesalahan ini, salah satu alasannya agar tidak menjadi beban psikologis bagi mereka ;

“acuan sistem timbang legal yang mana yang pernah diakui / diberlakukan secara internasional , yang menyatakan bahwa :

1 ons adalah 100 gram, 1 pound adalah 500 gram.”?

Kalau Dep. Pendidikan tidak bisa menunjukkan acuannya, mengapa hal ini diajarkan secara resmi di sekolah sampai sekarang ?

Pernahkan Dep. Pendidikan menelusuri, dinegara mana saja selain Indonesia berlaku konversi 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram ?

Patut dipertanyakan pula, bagaimana tanggung jawab para penerbit buku pegangan sekolah yang melestarikan kesalahan ini ?

Kalau Dep. Pendidikan mau mempertahankan satuan ons yang keliru ini, sementara pemerintah sendiri melalui Direktorat Metrologi melarang pemakaian satuan “ons” dalam transaksi legal, maka konsekwensinya ialah harus dibuat sistem baru timbangan Indonesia (versi Depdiknas).. Sistem
baru inipun harus diakui lebih dulu oleh dunia internasional sebelum diajarkan kepada anak-anak. Perlukah adanya sistem timbangan Indonesia yang konversinya adalah
1 ons (Depdiknas) = 100 gram dan 1 pound (Depdiknas) = 500 gram ?
Bagaimana “Ons dan Pound (Depdiknas)” ini dimasukkan dalam sistem metrik yang sudah baku diseluruh dunia ? Siapa yang mau pakai ?.

HENTIKAN SEGERA KESALAHAN INI.

Contoh kasus diatas hanyalah satu diantara sekian banyak problema yang merupakan akibat atau korban kesalahan pendidikan. Saya yakin masih banyak kasus-kasus senada yang terjadi, tetapi tidak kita dengar. Salah satu contoh kecil ialah, banyak sekali ibu-ibu yang mempraktekkan resep kue dari buku luar negeri tidak berhasil tanpa diketahui dimana kesalahannya.

Karena ini kesalahan pendidikan, masalah ini sebenarnya merupakan masalah nasional pendidikan kita yang mau tidak mau harus segera dihentikan.

Departemen Pendidikan tidak perlu malu dan basa-basi diplomatis mengenai hal ini. Mari kita pikirkan dampaknya bagi masa depan anak-anak Indonesia. Berikan teladan kepada bangsa ini untuk tidak malu memperbaiki kesalahan.

Sekalipun hanya untuk pelajaran di sekolah, dalam hal Takar-Timbang- Ukur, Dep. Pendidikan tidak memiliki supremasi sedikitpun terhadap Direktorat Metrologi sebagai lembaga yang paling berwenang di Indonesia. Mari kita ikuti satu acuan saja, yaitu Direktorat Metrologi.

Era Globalisasi tidak mungkin kita hindari, dan karena itu anak-anak kita harus dipersiapkan dengan benar. Benar dalam arti landasannya, prosesnya, materinya maupun arah pendidikannya. Mengejar ketertinggalan dalam hal kualitas SDM negara tetangga saja sudah merupakan upaya yang
sangat berat.

Janganlah malah diperberat dengan pelajaran sampah yang justru bakal menyesatkan. Didiklah anak-anak kita untuk mengenal dan mengikuti aturan dan standar yang berlaku SAH dan DIAKUI secara internasional, bukan hanya yang rekayasa lokal saja. Jangan ada lagi korban akibat pendidikan yang salah. Kita lihat yang nyata saja, berapa banyak TKI diluar negeri
yang berarti harus mengikuti acuan yang berlaku secara internasional.

Anak-anak kita memiliki HAK untuk mendapatkan pendidikan yang benar sebagai upaya mempersiapkan diri menyongsong masa depannya yang akan penuh dengan tantangan berat.

ACUAN MANA YANG BENAR ?

Banyak sekali literatur, khususnya yang dipakai dalam dunia tehnik, dan juga ensiklopedi ternama seperti Britannica, Oxford, dll. (maaf, ini bukan promosi) menyajikan tabel-tabel konversi yang tidak perlu diragukan lagi.

Selain pada buku literatur, tabel-tabel konversi semacam itu dapat dijumpai dengan mudah di-dalam buku harian / diary/agenda yang biasanya diberikan oleh toko atau produsen suatu produk sebagai sarana promosi.

Salah satu konversi untuk satuan berat yang umum dipakai SAH secara internasional adalah sistem avoirdupois / avdp. (baca : averdupoiz).
1 ounce/ons/onza = 28,35 gram (bukan 100 g.)

1 pound = 453 gram (bukan 500 g.)

1 pound = 16 ounce (bukan 5 ons)

Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau seorang apoteker meracik resep obat yang seharusnya hanya diberi 28 gram, namun diberi 100 gram. Apakah kesalahan semacam ini bisa di kategorikan sebagai malapraktek ?
Pelajarannya memang begitu, kalau murid tidak mengerti, dihukum !!!
Jadi, kalau malapraktik, logikanya adalah tanggung jawab yang mengajarkan. (ini hanya gambaran / ilustrasi salah satu akibat yang bisa ditimbulkan, bukan kejadian sebenarnya, tetapi dalam bidang lain banyak sekali terjadi)

KALAU BUKAN KITA YANG MENYELAMATKAN – LALU SIAPA ?.

Melalui tulisan ini saya ingin mengajak semua kalangan, baik kalangan pemerintah, akademis, profesi, bisnis / pedagang, sekolah dan orang tua dan juga yang lainnya untuk ikut serta mendukung penghapusan satuan “ons dan pound yang keliru” dari kegiatan kita sehari-hari. Pengajaran sistem timbang dgn. satuan Ounce dan Pound seharusnya diberikan sebagai pengetahuan disertai kejelasan asal-usul serta rumus konversi yang benar. Hal ini untuk membuang kebiasaan salah yang telah melekat dalam kebiasaan kita, yang bisa mencelakakan / menyesatkan anak-anak kita, generasi penerus bangsa ini.

hebatnya kartini dan ibnu rusyid

•June 16, 2009 • Leave a Comment

Kartini mengeluh betapa ia tak dapat memahami Alquran karena pada masanya, kitab suci itu dianggap terlalu suci untuk diterjemah ke bahasa Jawa. Selain itu, dalam sebuah dialog dengan seorang kiai, Kartini jelas mengajukan pertanyaan kritis. Misalnya tentang apa hukumnya bagi kiai yang enggan membagi ilmunya kepada perempuan yang dahaga pengetahuan seperti dirinya.

Salah satu keluhan Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang adalah soal pandangan agama dan budaya yang tidak berpihak kepada perempuan. Pertama, Kartini mengeluh betapa ia tak dapat memahami Alquran karena pada masanya, kitab suci itu dianggap terlalu suci untuk diterjemah ke bahasa Jawa. Selain itu, dalam sebuah dialog dengan seorang kiai, Kartini jelas mengajukan pertanyaan kritis. Misalnya tentang apa hukumnya bagi kiai yang enggan membagi ilmunya kepada perempuan yang dahaga pengetahuan seperti dirinya.

Saya membayangkan Kartini berjumpa dengan ahli Islam sekaligus filosof par excellent asal Andalusia, Ibnu Rusyd. Dalam perjumpaan itu, terjadilah dialog kritis seputar persoalan perempuan.

Kartini: Pak Walid (nama akrab Ibnu Rusyd), Anda dikenal sebagai ahli fikih dan filosof Islam yang andal. Adakah tempat dalam pikiranmu untuk perempuan?”

Ibnu Rusyd: Tentu saja! Pernahkah kau menonton film tentangku, Le Destine , yang dibuat sutradara Mesir, Youssef Shahin?

Kartini: Aku pernah menontonnya dari DVD yang dihadiahkan seorang aktivis perempuan. Kalau kuperhatikan, hubunganmu kurang berjarak dan cukup akrab dengan perempuan. Menurut kabar yang sampai padaku, saat film itu diputar perdana di Mesir, banyak agamawan protes karena itu dianggap merendahkan martabatmu sebagai ahli agama Islam. ”Sosok ulama sepertimu tidak akan bersikap demikian terhadap perempuan,” pikir mereka.”

Ibnu Rusyd: Ya, Shahin kadang agak berlebihan, tapi itu tidak terlalu meleset dari profil pribadiku. Begitulah aku kurang-lebih. Jangan lupa, aku bukan hanya seorang ulama, tapi juga tabib, filosof, sedikit-sedikit mengerti musik. Kau pasti tahu, Ibnu Hazm, ahli fikih mazhab zahiri yang sekampung denganku, juga sangat akrab dan tidak punya persoalan dengan perempuan.

Kartini: Apa makna ungkapanmu yang pertama?

Ibnu Rusyd: seorang ulama terkadang berpikir dari sesuatu yang partikular dan parsial tentang kehidupan. Sementara seorang filosof, ia beranjak dari visi besarnya tentang dunia dan alamraya. Karena itu, dalam al-Dlarûri fi al-Siyâsah (Pokok-Pokok Politik), ulasan dan komentarku terhadap The Politic Plato, aku menyisipkan beberapa pandanganku tentang ”seni mengatur masyarakat” yang merupakan objek ilmu politik. Nah, bab tentang perempuan aku sisipkan di situ.

Kartini: Tega nian Engkau tak membahas persoalan sepenting ini secara tersendiri, tapi justru menyisipkannya dalam bab tentang politik!

Ibnu Rusyd: Kalau kau sudah mendengarkan tuntas uraianku, Engkau tak perlu berkecil hati! Perlu kau ketahui, bukanlah maksudku untuk mengecilkan arti perempuan. Justru, di bab itu kukatakan bahwa salah satu tujuan dasar negara utopianku adalah untuk mengoptimalkan segenap potensi kemanusiaan semua warga masyarakatnya. Semua, tanpa kecuali, tanpa diskriminasi.

Kartini: ya, tapi bagaimana kau menempatkan setengah bahkan lebih dari setengah bagian masyarakat itu! Itu penting kuketahui…

Ibnu Rusyd: Justru itulah yang hendak kuuraikan. Ingat Kartini, aku memulai bahasan tentang perempuan dari premis dan asumsi tentang kesetaraaan antara laki-laki dan perempuan dalam tujuan-tujuan umum kemanusiaannya. Impian-impian dan cita-cita mereka di dalam suatu masyarakat, bagiku relatif sama. Dari persamaan esensial itulah aku merumuskan hak dan kewajiban yang setara bagi keduanya untuk menyokong visiku tentang negara utopian. Mereka sama-sama harus difasilititasi oleh negara guna mencapai segenap potensi kemanusiaan mereka. Itu jugalah tujuan pendidikan yang kurumuskan dalam sebuah negara utopia. Ingat, aku berpendapat bahwa negara, pertama-tama dan utamanya, adalah sebuah institusi pendidikan akbar.

Kartini: Tapi kau juga mengatakan bahwa pada laki-laki dan perempuan juga terdapat perbedaan. Laki-laki lebih kuat dan tahan banting (aktsar kaddan), sementara perempuan lebih tekun dan intuitif (aktsah hadzaqan). Lalu kaubuatlah pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki lebih layak bekerja di sektor yang memeras tenaga, perempuan di tempat ketekunan dan ketelatenan diminta. Apa itu tidak bias laki-laki dan dapat berujung pada peminggiran terhadap hak-hak perempuan?

Ibnu Rusyd: Maafkan aku bila itu dianggap bias gender pada generasimu. Aku sungguh tidak pernah bermaksud membuat timpang sistem sosial yang kususun dalam negara utopiaku. Keseimbangan antar semua komponen adalah hal terpenting dalam negaraku. Pandanganku itu hanya menguraikan tentang apa yang ada dalam kenyataan. Itu sama sekali tidak menafikan visi besarku tentang negara utopian: potensi keduanya harus dioptimalkan. Pada tingkat kenyataan, aku juga punya pendapat yang sangat sensitif gender.

Kartini: Aku belum pernah mendengarkan itu. Bisakah kau katakan, mungkin aku akan berbesar hati….

Ibnu Rusyd: Baiklah kalau kau bersedia menyimak analisisku terhadap persoalan ekosospol di banyak negara muslim, terutama di tanah airku, Andalusia. Sejujurnya, bagiku potensi perempuan selama ini lebih banyak terabaikan daripada diberdayakan. Kebanyakan mereka hanya diperlakukan sebagai alat reproduksi (li an-nasl) dan semata-mata untuk melayani kepentingan suami. Tak jarang, mereka dipaksa untuk terus melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak. Bagi sebagian, itu bukan masalah. Tapi bagiku, itu berakibat fatal pada melemahnya potensi-potensi kemanusiaannya yang lain.

Kartini: Menarik! Lalu apa dampak ekosospolnya?

Ibnu Rusyd: Karena itu tidak sesuai dengan visi negara utopianku yang mementingkan keseimbangan, maka wajarlah bila ia menjadi beban ekonomi, sosial, bahkan politik. Sangat disayangkan, potensi kemanusiaan setengah warga polisku terabaikan, bahkan terkubur. Bahkan–maaf jika aku harus berkata lancang—perempuan lebih banyak diperlakukan bagai rumput (ka al-a`syâb). Kau tahu Kartini, rumput biasanya diinjak, mati bila tidak diairi, dan meski tak jarang tetap mampu merambat, ia tak banyak berarti dibanding tumbuhan lainnya.

Kartini: Aduh, betapa menyakitkan hati mendengarnya! Tapi kau belum menjelaskan akibat ekosospolnya…

Ibnu Rusyd: Kukira kau bisa membayangkannya sendiri, Kartini!

Kartini: Ya, sudah pasti mereka akan menjadi beban karena memang dibuat bergantung pada unsur-unsur lain yang belum tentu juga produktif. Dan andai separuh lebih dari populasi negara utopianmu itu hanya rumput kering, astaga, itu pasti akan menjadi beban pikiran raja filsuf yang kau anggap sosok ideal memimpin mereka.

Ibnu Rusyd: Sungguh tajam intuisi dan analisismu, Kartini!

Kartini: Terima kasih. Tapi aku hampir terlupa satu hal. Mengapa kitab-kitab fikih menetapkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin puncak, misalnya di negara utopiamu? Hm, aku baru ingat, engkau juga seorang agamawan, bukan?!

Ibnu Rusyd: Tak ada bedanya antara Ibnu Rusyd sebagai filsuf dengan Ibnu Rusyd yang agamawan. Pada keduanya, aku hanya ingin mencari sisi-sisi kebenaran dan kearifan hidup. Tapi kalau kau tetap bersikukuh menginginkan jawaban fikih, baiklah! Rumusanku begini: karena dalam pandangan fikih diduga (dzunna) para pemimpin tak banyak berasal dari kaum perempuan, maka sebagian syariat (ba’dla al-syarâ’i) tidak mengizinkannya berada di tangan perempuan. Ingat dua kata kunciku: diduga, dan sebagian.

Kartini: Mengapa dugaan dijadikan dasar dalam berargumen?

Ibnu Rusyd: Ingat Kartini, ketetapan fikih itu berasal dari pengandaian-pengandaian partikular, sementara filsafat berangkat dari visi besar apa yang hendak dicapai suatu masyarakat. Visi besar itu lalu dijabarkan dalam upaya-upaya partikular.

Kartini: Aduh, aku makin tak mengerti; mana pendapatmu yang sebenarnya?!

Ibnu Rusyd: Perempuan secerdas kamu pasti tahu mana pendapatku. Tak perlu kuuraikan secara eksplisit. Selain itu, aku tak terbiasa mendiktekan pendapat yang harus diikuti seseorang. Paling banter, aku hanya mengatakan bahwa pendapat tertentu layak dipertimbangkan secara seksama. Kau harus memilih Kartini, terserah mana yang lebih cocok untuk generasimu!

Kartini: Baiklah, ini pertanyaan terakhir: Mengapa al-Ghazali mengatakan bahwa aurat perempuan itu berlapis sepuluh. Tatakala menikah, tersingkaplah salah satu lapisannya. Sementara untuk sembilan sisanya, semua baru akan tersingkap tatkala mereka telah berpulang ke rahmatullah. Apa komentarmu?

Ibnu Rusyd: Tolong jangan paksa aku menjawabnya. Kau tau, aku tidak suka jenis manusia setengah filosof apalagi teolog. Maaf aku tak bisa meneruskan komentarku. Pesanku hanya satu: berhati-hatilah untuk memilih pendapat yang pada kulitnya tampak mulia. Sebab, tak jarang dalam selubung itu tersimpan dampak negatif yang fatal untuk kaummu seperti kutunjukkan tadi dalam analisis soal Andalusia.

ekonomi global

•June 16, 2009 • Leave a Comment

Di sinilah tantangan bagi para akademisi dan praktisi ekonomi syari’ah untuk membuat teori, rekomendasi kebijakan, dan institusi ekonomi yang dapat diterapkan dalam sistem perekonomian yang masih bercampur antara praktik syari’ah dan praktik konvensional. Kebanyakan teori ekonomi syari’ah sekarang ini masih dibangun dengan asumsi bahwa setting yang ada adalah sepenuhnya islami yang tidak mengandung riba di dalamnya. Asumsi ini sangat tidak realistis dan akibatnya teori-teori tersebut tidak bisa digunakan sebagai alat untuk menganalisis realitas yang ada.

Setiap kali krisis finansial global menerjang, wacana tentang pencarian sistem alternatif marak dibicarakan. Banyak pihak mengusulkan ide dan gagasannya. Tidak ketinggalan para pemimpin negara-negara maju. Dalam forum G 20 yang berlangsung beberapa waktu lalu di London, Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy, juga Angela Merkel, Kanselir Jerman dan Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris, mengusulkan pembesaran porsi peran pemerintah dan pengendalian pasar keuangan global.

Di Indonesia sendiri, Wakil Presiden Yusuf Kalla, dalam acara pra World Islamic Economic Forum ke-5 (WIEF) di Jakarta awal Maret lalu, mengusulkan pentingnya merangkul dan mengembangkan bukan hanya perbankan syari’ah, tapi juga ekonomi syari’ah secara keseluruhan di Indonesia. Dengan kondisi demografis Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam, usulan Wakil Presiden tersebut dengan mudah dapat dipahami. Apalagi kalau melihat fakta satu dekade terakhir ini, ekonomi syari’ah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Lebih dari lima puluhan lembaga ekonomi syari’ah bermunculan di Indonesia.

Untuk mendapatkan preskripsi dan usulan yang lebih masuk akal, pertanyaan yang harus dicarikan jawabannya terlebih dulu adalah: Apakah krisis global yang terjadi sekarang adalah karena cacat sistemik yang betul-betul mendasar dalam sistem kapitalisme itu sendiri sehingga harus diganti dengan sistem alternatif semacam ekonomi syari’ah? Ataukah kesalahan itu hanya kesalahan periferal pada level fitur-fiturnya saja? Ataukah krisis itu adalah siklus biasa saja yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme dalam rangka mendapatkan sesuatu yang lebih produktif dan efisien?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba dicarikan penjelasannya pada diskusi hari kedua (25/3) dalam acara Ulang Tahun Sewindu Jaringan Islam Liberal (JIL) yang berlangsung di gedung Teater Utan Kayu (TUK), Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta. Dalam diskusi dengan tema Ekonomi Syari’ah dan Kapitalisme tersebut hadir dua narasumber: M. Ikhsan Modjo, alumni Monash University, Australia, dan Bachtiar Firdaus, pengurus DPP PKS, alumni National University of Singapore, yang dipandu Burhanuddin Muhtadi selaku moderator.

Menurut Ikhsan Modjo, Ekonom dari Institute of Development of Economics and Finance (INDEF) ini, teori yang paling mapan untuk menjelaskan krisis global sekarang adalah teori Schumpeterian yang digagas oleh Joseph Schumpeter. Schumpeter mengusung gagasan tentang creative destruction atau penghancuran kreatif yang ia tarik dari ilmu ekonomi mikro. Gagasan Schumpeter ini ingin merekatkan kembali ilmu ekonomi mikro dan ilmu ekonomi makro yang di masa sebelumnya seolah-olah terbelah dan tidak sinergis. Teori ekonomi mikro sendiri berkembang sejak tahun 1920-an, salah satunya oleh Leon Walras. Lalu disusul pada tahun 1936-1937 dengan munculnya ilmu ekonomi makro yang diperkenalkan oleh John Maynard Keynes dengan teorinya yang terkenal tentang aggregate demand dan aggregate supply. Sampai kemudian pada medio 1970-an muncul yang disebut dengan kritik Lucas, yang dilontarkan oleh Robert Lucas sebagai salah satu tokoh aliran ekonomi Neo-klasik.

Inti kritik Lucas adalah: teori yang dikeluarkan Keynes tentang aggregate demand dan aggregate supply itu sama sekali tidak punya fondasi dalam ilmu ekonomi mikro. Kesimpulan Lucas kemudian menyatakan bahwa kesalahan pada level teori akan berimbas pada kesalahan di tingkat praktek. Kritik Lucas ini kemudian diperbaiki dan disempurnakan oleh Joseph Schumpeter, salah satunya adalah lewat gagasannya tentang creative destruction tadi. Gagasan creative destruction ini ia kaitkan dengan teori tentang inovasi.

Bagi para pengkritik kapitalisme, krisis yang berlangsung sekarang ini adalah disebabkan cacat sistemik yang sangat mendasar dalam sistem kapitalisme itu sendiri. Dan kesimpulan mereka adalah sistem demikian harus diganti. Sementara bagi para pengusung kapitalisme, sebagaimana yang dijelaskan oleh teori Schumpeterian, krisis yang silih ganti berdatangan adalah hal biasa sebagai bagian dari proses creative destruction. Krisis adalah manifestasi wajar dari sifat inheren sistem kapitalisme yang selalu berupaya memaksimalkan keuntungan melalui inovasi. Perusahaan-perusahaan yang memiliki inovasi atau kreativitas secara otomatis menghancurkan perusahaan yang tidak memiliki atau tertinggal dalam kreativitas. Hal ini berimplikasi pada berkurangnya jumlah produksi dan jumlah pemain yang ada. Bila pada saat yang sama banyak industri yang mengalami hal serupa, bisa dipastikan produksi agregat pun berkurang dan melemahkan ekonomi secara keseluruhan. Di sinilah krisis itu muncul, dan inilah yang disebut fase penghancuran.

Akan tetapi seiring perjalanan waktu, perekonomian akan tumbuh lebih kuat dan cepat sampai muncul perusahaan baru yang menawarkan inovasi baru. Siklus ini berulang secara terus-menerus. Dengan demikian krisis adalah buah dari proses seleksi alam untuk memunculkan entitas baru yang lebih produktif dan efisien. Justru ketika proses creative destruction ini ditolak, krisis akan menjadi persoalan global yang problematik. Penolakan itu salah satunya berupa kebijakan moneter ekspansif berupa pemangkasan tingkat suku bunga, dengan tujuan menghindari peningkatan jumlah pengangguran akibat bangkrutnya perusahaan. Kebijakan ini, menurut penganut aliran Schumpeterian, hanya menunda kejatuhan perusahaan untuk kemudian jatuh terperosok lebih dalam lagi. Di samping itu, kebijakan tersebut juga dianggap merangsang spekulasi melalui investasi yang tidak berkesinambungan pada sektor dan aset tertentu, seperti aset perumahan, yang akan memperdalam kejatuhan. Kejatuhan yang mendalam dan merosotnya nilai aset seperti pada kasus subprime mortgage, inilah yang kemudian menggeret seluruh perekonomian global ke jurang krisis melalui transmisi pasar keuangan dan perdagangan.

Dengan melihat peta krisis seperti itu, menurut Ikhsan, solusi yang paling masuk akal untuk ditawarkan bukanlah mengganti sistem kapitalisme dengan ekonomi syari’ah. Tetapi mencari celah yang mungkin untuk terjadinya sintesis di dalamnya. Dalam perbandingan apple-to-apple, perbandingan konsep dengan konsep dan praktek dengan praktek, antara keduanya memperlihatkan adanya kesamaan di samping juga perbedaan. Pada level konsep, ekonomi syari’ah memiliki banyak kemiripan dengan kapitalisme. Keduanya sama-sama mengandalkan dan mendorong mekanisme pasar sebagai alat alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi. Masing-masing juga mengajukan syarat yang sama dalam hal penyerahan pada mekanisme pasar: yaitu adanya kekuatan yang seimbang antar para pelaku pasar, serta tidak terdapat kecurangan seperti manipulasi dan kesepakatan harga antar kartel. Persamaan lain, ekonomi syari’ah dan kapitalisme juga mengakui hak kepemilikan pribadi, berbeda dengan sosialisme yang tidak mengakuinya. Begitu besarnya pengakuan tersebut terbukti dari butir ajaran dalam Islam yang menggolongkan orang yang mati dalam membela hak miliknya dikonsepsikan sebagai orang yang mati syahid.

Perbedaan paling besar pada level konsep antara ekonomi syari’ah dan kapitalisme adalah larangan tegas sistem syari’ah pada lima hal: riba (nilai tambah atas uang), komoditas terlarang (barang haram), spekulasi (maysir), ketidakpastian dan penimbunan (ihtikâr). Ekonomi syari’ah melarang pengambilan keuntungan dari jual-beli dan persewaan uang. Dalam ekonomi syari’ah, seseorang boleh mendapatkan keuntungan dari uangnya hanya jika berpartisipasi dalam usaha riil dan ikut menanggung resiko kerugian. Tujuan di balik perbedaan hukum jual beli barang dan jasa (sektor riil) dengan hukum jual-beli uang (sektor finansial) adalah untuk lebih mendorong perkembangan sektor riil daripada sektor finansial.

Perbandingan pada level praktek antara keduanya juga memperlihatkan hal yang sama, keduanya sama-sama kedodoran ketika harus menerapkan konsep masing-masing di tingkat praktek. Praktek ekonomi di negara-negara maju yang menerapkan kapitalisme sebagai sistem mainstream-nya bisa dikatakan telah jauh bergeser dari cita-cita pendahulunya. Sektor finansial berkembang lebih cepat daripada sektor riil. Orang lebih banyak berusaha mendapatkan kekayaan finansial daripada kekayaan riil berupa barang dan jasa yang bisa memberikan manfaat langsung. Konsep lain yang dilanggar pada tingkat praktek adalah ketika terjadi resesi, intervensi pemerintah terhadap perekonomian jauh lebih besar dari yang dibayangkan.

Ekonomi syari’ah, pada level praktek, juga menghadapi kesulitan yang sama dengan kapitalisme dalam mempraktekkan konsep-konsep idealnya. Kritik besar yang datang dari dalam ekonomi syari’ah sendiri adalah dominannya pembiayaan dengan akad jual-beli (murâbahah), melebihi bentuk akad-akad yang lain, seperti mudhârabah, musyârakah, salam, ijârah, atau hiwâlah. Marjin yang dihitung sebagai persentase dari nilai pembiayaan sangat mirip dengan bunga karena sama-sama memberikan imbal-tetap. Juga terdapat kerancuan bahwa dalam akad tersebut bank syari’ah dianggap sebagai penjual, padahal dalam praktek, ia sama sekali tidak menjalankan operasional layaknya penjual pada umumnya.

Melihat fakta demikian bahwa masing-masing memiliki kelemahan di tingkat praktek, kedua pembicara, M. Ikhsan Modjo dan Bachtiar Firdaus, sepakat bahwa solusi yang paling mungkin adalah mencari sintesis, bukan saling menegasikan. Di sinilah tantangan bagi para akademisi dan praktisi ekonomi syari’ah untuk membuat teori, rekomendasi kebijakan, dan institusi ekonomi yang dapat diterapkan dalam sistem perekonomian yang masih bercampur antara praktik syari’ah dan praktik konvensional. Kebanyakan teori ekonomi syari’ah sekarang ini masih dibangun dengan asumsi bahwa setting yang ada adalah sepenuhnya islami yang tidak mengandung riba di dalamnya. Asumsi ini sangat tidak realistis dan akibatnya teori-teori tersebut tidak bisa digunakan sebagai alat untuk menganalisis realitas yang ada.

Model pengelolaan moneter berbasis bunga belum tentu cocok diterapkan pada bank syari’ah walaupun akadnya sudah didesain ulang agar sesuai ajaran Islam. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah, DPR dan Bank Indonesia untuk mengembangkan sistem pengawasan bank dan pengelolaan moneter yang kompatibel dengan bank konvensional dan lembaga keuangan syari’ah lainnya.

islam Vs pluralisme

•June 16, 2009 • Leave a Comment

Ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab, di samping memang mengandung kesamaan tujuan untuk menyembah Allah dan berbuat baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap agama memiliki keunikan, kekhasan, dan syari`atnya sendiri. Sebagian mufasir berkata, al-dîn wâhid wa al-syarî`at mukhtalifat [agama itu satu, sementara syari`atnya berbeda-beda]. Detail-detail syari`at ini yang membedakan satu agama dengan agama lain.

Pengertian Dasar

Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris, pluralism. Kata ini diduga berasal dari bahasa Latin, plures, yang berarti beberapa dengan implikasi perbedaan. Dari asal-usul kata ini diketahui bahwa pluralisme agama tidak menghendaki keseragaman bentuk agama. Sebab, ketika keseragaman sudah terjadi, maka tidak ada lagi pluralitas agama (religious plurality). Keseragaman itu sesuatu yang mustahil. Allah menjelaskan bahwa sekiranya Tuhanmu berkehendak niscaya kalian akan dijadikan dalam satu umat. Pluralisme agama tidak identik dengan model beragama secara eklektik, yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dalam suatu agama dan membuang sebagiannya untuk kemudian mengambil bagian yang lain dalam agama lain dan membuang bagian yang tak relevan dari agama yang lain itu.

Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Frans Magnis-Suseno berpendapat bahwa menghormati agama orang lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama adalah sama. Agama-agama jelas berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan syari`at yang menyertai agama-agama menunjukkan bahwa agama tidaklah sama. Setiap agama memiliki konteks partikularitasnya sendiri sehingga tak mungkin semua agama menjadi sebangun dan sama persis. Yang dikehendaki dari gagasan pluralisme agama adalah adanya pengakuan secara aktif terhadap agama lain. Agama lain ada sebagaimana keberadaan agama yang dipeluk diri yang bersangkutan. Setiap agama punya hak hidup.

Nurcholish Madjid menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. QS, al-Mumtahanah [60]: ayat 8

Paparan di atas menyampaikan pada suatu pengertian sederhana bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh) dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dikatakan secara positif, agar umat beragama tidak memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi. Dinyatakan secara optimis, karena kemajemukan agama itu sesungguhnya sebuah potensi agar setiap umat terus berlomba menciptakan kebaikan di bumi.

Sikap terhadap non-Muslim

Pluralitas agama dan umat beragama adalah kenyataan. Sebelum Islam datang, di tanah Arab sudah muncul berbagai jenis agama, seperti Yahudi, Nashrani, Majusi, Zoroaster dan Shabi’ah. Suku-suku Yahudi sudah lama terbentuk di wilayah pertanian Yatsrib (kelak disebut sebagai Madinah), Khaibar, dan Fadak. Di wilayah Arab ada beberapa komunitas Yahudi yang terpencar-pencar dan beberapa orang sekurang-kurangnya disebut Kristen. Pada abad ke empat sudah berdiri Gereja Suriah. Karena itu tak salah jika dinyatakan, Islam lahir dalam konteks agama-agama terutama agama Yahudi dan Nashrani.

Al-Qur’an memiliki pandangan sendiri dalam menyikapi pluralitas umat beragama tersebut.Terhadap Ahli Kitab (meliputi Yahudi, Nashrani, Majusi, dan Shabi’ah), umat Islam diperintahkan untuk mencari titik temu (kalimat sawa`). Kalau terjadi perselisihan antara umat Islam dan umat agama lain, umat Islam dianjurkan untuk berdialog (wa jâdilhum billatî hiya ahsan). Terhadap siapa saja yang beriman kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan melakukan amal kebajikan, al-Qur`an menegaskan bahwa mereka, baik beragama Islam maupun bukan, kelak di akhirat akan diberi pahala. Tak ada keraguan bahwa orang-orang seperti ini akan mendapatlan kebahagiaan ukhrawi. Ini karena, sebagaimana dikemukakan Muhammad Rasyid Ridla, keberuntungan di akhirat tak terkait dengan jenis agama yang dianut seseorang.

Al-Qur’an mengijinkan sekiranya umat Islam hendak bergaul bahkan menikah dengan Ahli Kitab. Tidak sedikit para sahabat Nabi yang memperisteri perempuan-perempuan dari kalangan Ahli Kitab. Utsman ibn `Affan, Thalhah ibn Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman, Sa`ad ibn Abi Waqash adalah di antara sahabat Nabi yang menikah dengan perempuan Ahli Kitab. Alkisah, Khudzaifah adalah salah seorang sahabat Nabi yang menikah dengan perempuan beragama Majusi. Nabi Muhammad juga pernah memiliki budak perempuan beragama Kristen, Maria binti Syama`un al-Qibtiyah al-Mishriyah. Dari perempuan ini, Nabi memiliki seorang anak laki-laki bernama Ibrahim. Ia meninggal dalam usia balita. Sejarah juga menuturkan, ayah kandung dari Shafiyah binti Hayy yang menjadi isteri Nabi adalah salah seorang pimpinan kelompok Yahudi.

Nabi Muhammad dan para pengikutnya sangat intens berkomunikasi dengan orang-orang Ahli Kitab. Muhammad muda pernah mendengarkan khotbah Qus ibn Sâ`idah, seorang pendeta Kristen dari Thaif. Muhammad Husain Haikal, sebagaimana dikutip Khalîl Abdul Karim, menjelaskan isi khotbah Qus ibn Sâ`idah itu sebagai berikut;

“Wahai manusia, dengarkan dan sadarlah. Siapa yang hidup pasti mati, dan siapa yang mati pasti musnah. Semuanya pasti akan datang. Malam gelap gulita, langit yang beribntang, laut yang pasang, bintang-bintang yang bercahaya, cahaya dan kegelapan, kebaikan dan kemaksiatan, makanan dan minuman, pakaian dan kendaraan. Aku tidak melihat manusia pergi dan tidak kembali, menetap dan tinggal di sebuah tempat, atau meninggalkannya kemudian tidur. Tuhannya Qus ibn Sa’adah tidak ada di muka bumi. Agama yang paling mulia semakin dekat waktunya denganmu, semakin dekat saatnya. Maka sungguh beruntung bagi orang yang mendapati dan kemudian mengikutinya, dan celaka bagi yang mengingkarinya”.

Muhammad Husain Haikal melanjutkan kisah tentang Qus ibn Sâ`idah. Alkisah, utusan Bani Iyad–suku Qus ibn Sa`îdah–menemui Nabi. Nabi bertanya keberadaan Qus. Mereka menjawab, Qus ibn Sâ`idah sudah meninggal dunia. Mendengar informasi tersebut, Nabi teringat akan khotbahnya di Pasar Ukazh; ia menunggang unta yang berwarna keabuan sambil berbicara. Tapi, aku tidak hafal detail ungkapannya. Seseorang (ada yang bilang Abu Bakar) berkata, “saya hafal wahai Nabi”. Ia kemudian merapalkan isi khotbah Qus tersebut. Rasulullah berkata, “semoga Tuhan memberi rahmat kepada Qus dan aku berharap agar ia kelak di hari kiamat dibangkitkan dalam umat yang mengesakan-Nya”. `Imad al-Shabbâgh menceritakan, Nabi pada akhirnya hafal isi khutbah Qus tersebut. Nabi bersabda, berbeda dengan kecenderungan orang-orang Arab yang menyembah patung, Qus salah seorang yang menyembah Allah Yang Esa.

Pengakuan tentang kenabian Muhammad datang pertama kali dari pendeta Yahudi bernama Buhaira dan tokoh Kristen bernama Waraqah ibn Nawfal. Melalui pendeta Buhaira terdengar informasi, Muhammad akan menjadi nabi pamungkas (khâtam al-nabiyyîn). Buhairâ (kerap disebut Jirjis atau Sirjin) pernah mendengar hâtif (informasi spritual) bahwa ada tiga manusia paling baik di permukaan bumi ini, yaitu Buhaira, Rubab al-Syana, dan satu orang lagi sedang ditunggu. Menurutnya, yang ketiga itu adalah Muhammad ibn Abdillah. Dan ketika Muhammad baru pertama kali mendapatkan wahyu, Waraqah menjelaskan bahwa sosok yang datang kepada Muhammad adalah Namus yang dulu juga datang kepada Nabi Musa. Waraqah mencium kening Muhammad sebagai simbol pengakuan terhadap kenabiannya, seraya berkata, “Berbahagialah, berbahagialah. Sesungguhnya kamu adalah orang yang dikatakan `Isa ibn Maryam sebagai kabar gembira. Engkau seperti Musa ketika menerima wahyu. Engkau seorang utusan”. Nabi pernah bersabda bahwa Waraqah akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah.

Nabi Muhammad tak menganggap ajaran agama sebelum Islam sebagai ancaman. Islam adalah terusan dan kontinyuasi dari agama-agama sebelumnya. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad agar ia mengikuti agama Nabi Ibrahim (millat Ibrahim). Sebagaimana Isa al-Masih datang untuk menggenapi hukum Taurat, begitu juga Nabi Muhammad. Ia hadir bukan untuk menghapuskan Taurat dan Injil, melainkan untuk menyempurnakan dan mengukuhkannya. Disebutkan dalam al-Qur’an, “Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab (mushaddiq) yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil sebelum al-Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia dan Dia menurunkan al-Furqan”.

Al-Qurthubi mengutip pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa arti kata mushaddiq dalam ayat itu adalah muwâfiq (cocok atau sesuai). Menurut Ibnu `Abbâs dan al-Dlahhak, makna atau esensi dasar ajaran al-Qur’an sesungguhnya telah tercantum dalam kitab-kitab sebelum al-Qur’an semisal Taurat Musa, Shuhuf Ibrahim. Yang berbeda hanya redaksionalnya bukan makna atau esensinya. Ketika ragu tentang sebuah wahyu, al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad untuk bertanya pada orang-orang yang sudah membaca kitab-kitab sebelum al-Qur’an. Sebab, di dalam kitab-kitab suci itu, ada prinsip-prinsip dasar yang merekatkan seluruh ajaran para nabi.

Ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab, di samping memang mengandung kesamaan tujuan untuk menyembah Allah dan berbuat baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap agama memiliki keunikan, kekhasan, dan syari`atnya sendiri. Sebagian mufasir berkata, al-dîn wâhid wa al-syarî`at mukhtalifat [agama itu satu, sementara syari`atnya berbeda-beda]. Detail-detail syari`at ini yang membedakan satu agama dengan agama lain. Sebab, tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu lain karena diketahui ternyata aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan.

Namun, perbedaan syari`at itu tak menyebabkan Islam kehilangan apresiasinya terhadap para nabi. Dalam pandangan Islam, semua nabi adalah bersaudara. Nabi Muhammad bersabda, “tak ada orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan Isa al-Masih ketimbang aku”. Ia bersabda, umat Islam yang mengimani Nabi Isa dan Muhammad SAW akan mendapatkan dua pahala. Nabi Muhammad juga bersabda, sebagaimana dalam Shahih Bukhari, ”sesungguhnya perumpamaan antara aku dengan para nabi sebelumnya adalah ibarat seseorang yang membangun sebuah rumah. Lalu ia buat rumah itu bagus dan indah, kecuali ada tempat bagi sebuah ubin di sebuah sudut. Orang banyak pun berkeliling rumah itu dan mereka takjub, lalu berkata, “mengapa ubin itu tidak dipasang. Nabi bersabda, “Akulah ubin itu, Aku adalah penutup para nabi”. Umat Islam pun diperintahkan meyakini dan menghargai seluruh para nabi plus kitab suci yang dibawanya. Jika para nabi yang membawa ajaran-ajaran ketuhanan itu dikatakan Muhammad sebagai bersaudara, maka para pengikut atau pemeluk agama-agama itu disebut sebagai Ahli Kitab.

Ketika Nabi Muhammad memasuki Mekah dengan kemenangan dan menyuruh menghancurkan berhala dan patung, dia menemukan gambar Bunda Maria (Sang Perawan) dan Isa al-Masih (Sang Anak) di dalam Ka`bah. Dengan menutupi gambar tersebut dengan jubahnya, dia memerintahkan semua gambar dihancurkan kecuali gambar dua tokoh itu. Dalam riwayat lain disebutkan, yang diselamatkan itu bukan hanya gambar Isa al-Masîh dan ibunya (Maryam), melainkan juga gambar Nabi Ibrahim. Patung Maryam yang terletak di salah satu tiang Ka`bah dan patung Nabi Isa di Hijirnya yang dipenuhi berbagai hiasan dibiarkan berdiri tegak. Tindakan ini diceritakan berbagai sumber sebagai penghargaan Muhammad terhadap Isa, Maryam (Bunda Maria), dan Ibrahim. Ini menunjukkan, sikap saling menghargai telah dikukuhkan Nabi semenjak awal kehadiran Islam.

Itulah sikap teologis al-Qur’an dalam merespons pluralitas agama dan umat beragama. Sementara sikap sosial-politisnya berjalan dinamis dan fluktuatif Adakalanya tampak mesra. Di kala yang lain, sangat tegang. Ketika Romawi yang Kristen kalah perang melawan Persia, umat Islam ikut bersedih. Satu ayat al-Qur’an turun menghibur kesedihan umat Islam tersebut. Disebutkan pula, ketika Muhammad SAW mengadakan perjalanan ke Thaif, ia bertemu seorang budak pemeluk agama Kristen bernama `Uddâs di Ninawi Irak (kota asal Nabi Yunus). Ketika Muhammad dikejar-kejar, `Uddâs yang memberikan setangkai anggur untuk dimakan.

Diceritakan, ketika Muhammad dan pengikutnya mendapatkan intimidasi dan ancaman dari kaum Musyrik Mekah, perlindungan diberikan raja Abisinia yang Kristen. Puluhan sahabat Nabi hijrah ke Abisinia untuk menyelamatkan diri, seperti `Utsman ibn `Affân dan istrinya (Ruqayah, puteri Nabi), Abû Hudzaifah ibn `Utbah, Zubair ibn `Awwâm, Abdurrahman ibn `Auf, Ja`far ibn Abî Thâlib, hijrah ke Abesinia untuk menghindari ancaman pembunuhan kafir Quraisy. Disaat kafir Quraisy memaksa sang raja mengembalikan umat Islam ke Mekah, ia tetap pada pendiriannya; pengikut Muhammad harus dilindungi dan diberikan haknya memeluk agama. Sebuah ayat al-Qur`an menyebutkan, “kalian (umat Islam) pasti mendapati orang-orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang Islam adalah orang-orang yang berkata, “sesungguhnya kami orang Kristen”. Disebutkan pula, waktu raja Najasyi meninggal dunia, Muhammad SAW pun melaksanakan shalat jenazah dan memohonkan ampun atasnya.

Alkisah, Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran yang berjumlah 60 orang. Rombongan dipimpin Abdul Masih, al-Ayham dan Abu Haritsah ibn Alqama. Abu Haritsah adalah seorang tokoh yang disegani karena kedalaman ilmunya dan konon karena beberapa karomah yang dimilikinya. Menurut Muhammad ibn Ja’far ibn al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju mesjid tatkala Nabi melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim dikenakan Muhammad SAW. Ketika waktu kebaktian telah tiba, mereka pun tak mencari gereja. Nabi Muhammad memperkenankan rombongan melakukan kebaktian atau sembahyang di dalam mesjid.

Hal yang sama juga dilakukan Nabi pada kalangan Yahudi. Ketika pertama sampai di Madinah, Nabi membuat konsensus untuk mengatur tata hubungan antara kaum Yahudi, Musyrik Madinah, dan Islam. Traktat politik itu dikenal dengan “Piagam Madinah” atau “Miytsâq al-Madînah”, dibuat pada tahun pertama hijriyah. Sebagian ahli berpendapat bahwa Piagam Madinah itu dibuat sebelum terjadinya perang Badar. Sedang yang lain berpendapat bahwa Piagam itu dibuat setelah meletusnya perang Badar. Piagam ini memuat 47 pasal. Pasal-pasal ini tak diputuskan sekaligus. Menurut Ali Bulac, 23 pasal yang pertama diputuskan ketika Nabi baru beberapa bulan sampai di Madinah. Pada saat itu, Islam belum menjadi agama mayoritas. Berdasarkan sensus yang dilakukan ketika pertama kali Nabi berada di Madinah itu, diketahui bahwa jumlah umat Islam hanya 1.500 dari 10.000 penduduk Madinah. Sementara orang Yahudi berjumlah 4000 orang dan orang-orang Musyrik berjumlah 4.500 orang.

Dikatakan dalam piagam tersebut misalnya bahwa seluruh penduduk Madinah, apapun latar belakang etnis dan agamanya, harus saling melindungi tatkala salah satu di antara mereka mendapatkan serangan dari luar. Sekiranya kaum Yahudi mendapatkan serangan dari luar, maka umat Islam membantu menyelamatkan nyawa dan harta benda mereka. Begitu juga, tatkala umat Islam diserang pihak luar, maka kaum Yahudi ikut melindungi dan menyelamatkan. Pada paragraf awal Piagam itu tercantum “Jika seorang pendeta atau pejalan berlindung di gunung atau lembah atau gua atau bangunan atau dataran raml atau Radnah (nama sebuah desa di Madinah) atau gereja, maka aku (Nabi) adalah pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka demi jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku, sebagaimana mereka (kaum Nashrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku”.

Apa yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah ini menginspirasi Umar ibn Khattab untuk membuat traktat serupa di Yerusalem, dikenal dengan “Piagam Aelia”, ketika Islam menguasai wilayah ini. Piagam ini berisi jaminan keselamatan dari penguasa Islam terhadap penduduk Yerusalem, yang beragama non-Islam sekalipun. Salah satu penggalan paragrafnya berbunyi:

“Inilah jaminan keamanan yang diberikan Abdullah, Umar, Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakit maupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apapun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikitpun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu”.

Muhammad Rasyîd Ridlâ menuturkan bahwa Umar ibn Khattab pernah mengangkat salah seorang stafnya dari Romawi. Ini juga dilakukan Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalid, raja-raja Bani Umayyah hingga suatu waktu Abdul Malik ibn Marwan menggantikan staf orang Romawi ke orang Arab. Daulah Abbasiyah juga banyak mengangkat staf dari kalangan Yahudi, Nashrani, dan Shabiun. Daulah Utsmaniyah juga mengangkat duta besar di negara-negara asing dari kalangan Nashrani

Di kala yang lain, hubungan umat Islam dengan umat agama lain itu tegang bahkan keras. Islam pernah berkonflik dengan Yahudi, juga dengan Kristen. Sejauh yang bisa dipantau, sikap tegas dan keras yang ditunjukkan al-Qur`an lebih merupakan reaksi terhadap pelbagai penyerangan orang-orang non-Muslim dan orang-orang Musyrik Mekah. Islam bukanlah agama yang memerintahkan umat Islam untuk menyerahkan pipi kiri ketika pipi kanan ditampar. Membela diri dan melawan ketidakadilan dibenarkan. Dalam konteks itulah, ayat jihad dan perang dalam al-Qur`an diturunkan. Jihad melawan keganasan orang-orang Musyrik dan Kafir Mekah tak dilarang, bahkan diperintahkan. Sebab, orang-orang Musyrik Mekah bukan hanya telah mengintimidasi umat Islam, tetapi juga mengusir umat Islam dari kediamannya.

Fakta ini membenarkan sebuah pandangan bahwa peperangan pada zaman Nabi dipicu karena persoalan ekonomi-politik daripada soal agama atau keyakinan. Ini bisa dimaklumi karena al-Qur’an sejak awal mendorong terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Al-Qur’an tak memaksa seseorang memeluk Islam. Allah berfirman (QS, al-Baqarah [2]: 256), lâ ikrâha fî al-dîn (tak ada paksaan dalam soal agama). Di ayat lain (QS, al-Kafirun [106]: 6) disebutkan, lakum dinukum wa liya dini [untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku]. Al-Qur’an memberikan kebebasan kepada manusia untuk beriman dan kafir [Faman syâ’a falyu’min waman syâ’a falyakfur] (QS, al-Kahfi [18]: 29). Al-Qur’an melarang umat Islam untuk mencerca patung-patung sesembahan orang-orang Musyrik. Al-Qur’an tak memberikan sanksi hukum apapun terhadap orang Islam yang murtad. Seakan al-Qur’an hendak menegaskan bahwa soal pindah agama merupakan soal yang bersangkutan dengan Allah. Tuhan yang akan memberikan keputusan hukum terhadap orang yang pindah agama, kelak di akhirat. Sejarah mencatat, Rasulullah tak pernah menghukum bunuh orang yang pindah agama.

Penutup

Bisa dikatakan, relasi sosial-politik umat Islam dengan umat agama lain sangat dinamis. Sikap Islam terhadap umat lain sangat tergantung pada penyikapan mereka terhadap umat Islam. Jika umat non-Islam memperlakukan umat Islam dengan baik, maka tak ada larangan bagi umat Islam berteman dan bersahabat dengan mereka. Sebaliknya, sekiranya mereka bersikap keras bahkan hingga mengusir umat Islam dari tempat kediamannya, maka umat Islam diijinkan membela diri dan melawan. Setelah kurang lebih 13 tahun lamanya Nabi dan umatnya bersabar menghadapi ketidakadilan dan penyiksaan di Mekah, maka baru pada tahun ke 15 ketika Nabi sudah berada di Madinah perlawanan dan pembelaan diri dilakukan. Dalam konteks itulah, ayat-ayat perang dan jihad militer diperintahkan.

Oleh karena itu, jelas bahwa pandangan al-Qur’an terhadap umat agama lain dalam soal ekonomi-politik bersifat kondisional dan situasional sehingga tak bisa diuniversalisasikan dan diberlakukan dalam semua keadaan. Ayat demikian bisa disebut sebagai ayat-ayat fushul (fushûl al-Qur’ân), ayat juz’iyyât, atau fiqh al-Qur’an. Ayat-ayat kontekstual seperti itu, dalam pandangan para mufasir, tak bisa membatalkan ayat-ayat yang memuat prinsip-prinsip umum ajaran Islam, seperti ayat yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tambahan pula, ayat lâ ikrâha fî al-dîn adalah termasuk lafzh `âm (pernyataan umum) yang menurut ushul fikih Hanafi adalah tegas dan pasti (qath`i), sehingga tak bisa dihapuskan (takhshish, naskh) oleh ayat-ayat kontekstual apalagi hadits ahâd (seperti hadits yang memerintahkan membunuh orang pindah agama) yang dalâlahnya adalah zhanni (relatif). Ayat lâ ikrâha fî al-dîn bersifat universal, melintasi ruang dan waktu. Ayat yang berisi nilai-nilai umum ajaran disebut sebagai ayat ushûl (ushûl al-Qur’ân) atau ayat kulliyât.

Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, saatnya umat Islam lebih memperhatikan ayat-ayat universal, setelah sekian lama memfokuskan diri pada ayat-ayat partikular. Ayat-ayat partikular pun kerap dibaca dengan dilepaskan dari konteks umum yang melatar-belakangi kehadirannya. Berbeda dengan ayat-ayat partikular, ayat-ayat universal mengandung pesan-pesan dan prinsip-prinsip umum yang berguna untuk membangun tata kehidupan Indonesia yang damai.

Untuk membangun Indonesia yang damai tersebut, maka beberapa langkah berikut perlu dilakukan. Pertama, harus dibangun pengertian bersama dan mencari titik temu (kalimat sawa`) antar umat beragama. Ini untuk membantu meringankan ketegangan yang kerap mewarnai kehidupan umat beragama di Indonesia. Dalam konteks Islam, membangun kerukunan antar-umat beragama jelas membutuhkan tafsir al-Qur’an yang lebih menghargai umat agama lain. Tafsir keagamaan eksklusif yang cenderung mendiskriminasi umat agama lain tak cocok buat cita-cita kehidupan damai, terlebih di Indonesia. Sebab, sudah maklum, Indonesia adalah negara bangsa yang didirikan bukan hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat lain seperti Hindu, Budha, dan Kristen. Dengan demikian, di Indonesia tak dikenal warga negara kelas dua (kafir dzimmi) sebagaimana dikemukakan sebagian ulama. Menerapkan tafsir-tafsir keagamaan eksklusif tak cukup menolong bagi terciptanya kerukunan dan kedamaian

Kedua, setiap orang perlu menghindari stigmatisasi dan generalisasi menyesatkan tentang umat agama lain. Generalisasi merupakan simplifikasi (penyederhanaan) dan stigmatisasi adalah merugikan orang lain. Al-Qur’an berusaha untuk menjauhi generalisasi. Al-Qur’an menyatakan, tak seluruh Ahli Kitab memiliki perilaku dan tindakan sama. Di samping ada yang berperilaku jahat, tak sedikit di antara mereka yang konsisten melakukan amal saleh dan beriman kepada Allah.

Ketiga, sebagaimana diperintahkan al-Qur’an dan diteladankan Nabi Muhammad, umat Islam seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan terhadap implementasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebagaimana orang Islam bebas menjalankan ajaran agamanya, begitu juga dengan umat dan sekte lain. Seseorang tak boleh didiskriminasi dan diekskomunikasi berdasarkan agama yang dipilih dan diyakininya. Dalam kaitan ini, umat Islam perlu mengembangkan sikap toleran, simpati dan empati terhadap kelompok atau umat agama lain.[]

kaya tahu diri

•June 16, 2009 • Leave a Comment

Semalam, saya dan teman-teman ARC jalan-jalan ke Kafe Warung Indung. Kami ke sana sekitar jam 23.00 WIB sehabis makan aneka steak di Suis Butcher. Saya mengetahui kafe ini setelah membaca tulisan Mas Yulian tentang Warung Indung. Ya sudah, kami memutuskan untuk mencobanya. Ternyata memang benar. Suasana kafe ini sangat artistik. Ruangan dipenuhi dengan berbagai lukisan. Sofa yang disediakan tergolong sangat nyaman. Enak sekali untuk bersantai.

Di sana, banyak sekali yang kami bicarakan. Salah satu topik pembicaraan yang menarik adalah orang kaya mengejar pendidikan. Teman saya, Saiful, mengatakan bahwa orang kaya sudah “sadar” pentingnya pendidikan sekarang ini. Dia bercerita jika zaman sudah berubah. Orang kaya tidak lagi bersikap acuh tak acuh (cuek) dengan pendidikan. Dahulu, orang kaya tidak concern. Mereka malas belajar karena menurut mereka kekayaan sudah ada. Tidak peduli kekayaan itu milik orang tua. Yang penting, tidak perlu lagi pendidikan karena sudah mapan. Hal ini menyebabkan mereka malas untuk belajar. Hasilnya, orang kaya tidak terlalu berambisi untuk masuk ke perguruan tinggi yang berkualitas. Mereka berpikir bahwa yang terpenting bisa kuliah. Tidak peduli tempat kuliah di mana. Zaman ini orang biasa adalah orang pintar.

buku.jpg

Nah, sekarang keadaan sudah berbeda 180 derajat. Akhir-akhir ini, orang kaya sudah peduli dengan pendidikan mereka. Sekarang orang-orang pintar adalah orang kaya. Mereka menganggap pendidikan sebagai tolak ukur seseorang. Di satu sisi, ini sangat baik. Orang akan makin sadar dengan pendidikan. Di sisi lain, di sana muncul persaingan untuk merebut pendidikan. Orang kaya akan berbuat apa saja untuk mencapai pendidikan yang tinggi. Hal ini karena mereka ditunjang dengan fasilitas lengkap. Akan tetapi, ini akan menghalangi orang biasa yang juga ingin menikmati pendidikan. Di sana akan terjadi perbedaan (gap) yang cukup besar.

Maksud saya adalah pendidikan lama-lama hanya untuk orang kaya saja. Dengan makin gencarnya orang kaya mengejar pendidikan, orang pintar yang tidak punya modal bisa tersisihkan. Ini berbahaya. Ini seperti zaman penjajahan dahulu dimana hanya orang-orang kaya atau pejabat tinggi yang bisa bersekolah (pendidikan). Jangan sampai ini terjadi. Semua orang harus menerima pendidikan. Pendidikan itu hak setiap orang.

hanya orang kaya yang boleh sekolah?

•June 16, 2009 • Leave a Comment

PERSOALAN mahalnya pendidikan belakangan ini kembali mencuat ke permukaan. Hal ini menjadi ironis mengingat sebelumnya berbagai janji politik para pejabat dan politikus saat kampanye untuk menyediakan pendidikan murah (bahkan gratis) banyak dilontarkan. Tampaknya, janji tersebut sejauh ini hanya jargon dan omong kosong belaka. Ribuan rakyat miskin yang hampir “sekarat” di tengah impitan hidup masih terbebani mahalnya biaya pendidikan bagi anak-anak mereka.

AWALNYA, kita masih berharap pada niat baik pemerintah menaikkan anggaran pendidikan dan merealisasikanya. Namun, semua itu tinggal kebijakan yang hanya ditulis di kertas dan kemudian disimpan di laci atau tidak malah telah hilang entah kemana.

Jika memang pendidikan didanai 20% dari APBN, semestinya sektor pendidikan memperoleh anggaran sebesar Rp 20 triliun dari total APBN sebesar Rp 300 triliun. Kenyataannya, dana untuk sektor pendidikan hanya berkisar Rp 13, 6 triliun atau sekitar 4% dari APBN. Sebuah jumlah yang sangat jauh dari ideal untuk sebuah negeri dengan 220 juta jiwa dan 17.079.220 orang atau 7, 7% d iantaranya tidak bisa baca tulis. Maka, sekali lagi janji politik yang sering diberikan cenderung hanya untuk menipu rakyat. Dan, dalam hal ini, lagi-lagi yang menjadi korban adalah rakyat kecil yang merupakan bagian terbesar penduduk negeri ini.

Kalau selama ini dikatakan pendidikan adalah investasi masa depan, tolak ukur kemajuan sebuah bangsa, dan petunjuk kemana peradaban akan dibawa, hal tersebut tentu tidak ada yang menyangsikan. Akan tetapi, persoalan tidak berhenti sampai di situ.

Ada sesuatu yang memang tidak adil sejak awal. Kompetisi (dalam dunia pendidikan) yang terjadi saat ini adalah kompetisi yang memang menguntungkan kalangan berlatar belakang ekonomi kaya. Sementara orang miskin, energi mereka telah terkuras habis berhadapan dengan ketidakadilan dalam segala sektor yang mereka terima.

Eko Prasetyo lewat buku ini ingin menunjukkan fakta kepada kita semua bahwa pendidikan di negeri ini telah menjadi sesuatu yang sangat mahal dan semakin tak terjangkau rakyat kecil. Lembaga pendidikan telah dijadikan ladang bisnis dan komersialkan.

***

PENULIS buku ini memberi ilustrasi sederhana yang dalami sendiri. Saat akan memasukkan anaknya ke taman kanak-kanak (TK), ia disodori biaya uang pangkal yang jumlahnya sangat fantastis: Rp 2 juta! Kemudian, ditambah Rp 350.000 tiap bulan untuk biaya snack, pelajaran bermain, dan sesekali wisata ke tempat hiburan. Ia berpikir, alangkah mahalnya bayaran untuk si kecil agar ia bisa bernyanyi, berdoa, dan mengetahui ejaan (hal 2). Hal itu, tambah Eko dalam buku ini, tarnyata juga dialami tetangga-tetangganya yang harus menyediakan dana begitu besar untuk anak-anak mereka yang ingin sekolah di tengah impitan ekonomi yang kian mencekik. Ironisnya, ini terjadi mulai dari bangku TK hingga perguruan tinggi.

Celakanya, membengkaknya biaya pendidikan yang sering ditimpakan kepada para orang tua sering kali hanya digunakan untuk pembangunan fisik sekolah yang jelas bukan mandat utama pendidikan (hal 4). Dari hal itulah, penulis akhirnya berkesimpulan zaman di mana sekolah murah bisa dinikmati memang telah usai. Komersialisasi pendidikan telah meluluhlantakkan sisi-sis humanisme pendidikan dan mamutarbalikkan seluruh logika dan cita-cita awal dikembangkanya pendidikan. Telah terjadi apa yang tersebut de-humanisasi pendidikan.

Menurut penulis, yang sehari-hari bergelut dengan berbagai isu pendidikan kritis di Yogyakarta ini, terdapat banyak hal yang ikut memberi andil terhadap semakin melambungnya biaya pendidikan. Selain yang pasti karena rendahnya anggaran pendidikan, swastanisasi yang merasuki lembaga pendidikan menjadi kian “mencengangkan”. Dengan alumnus Fakultas Hukum UII ini, ada kepentingan kalangan pemodal yang menyelinap ketika mereka mendirikan sekolah. Sekolah kemudian seperti pabrik yang nanti mengeluarkan bermaca-macam makhluk mirip seperti robot (hal 27).

Swastanisasi lembaga pendidikan, bahkan dengan dasar pijakan otonomi, membuat sekolah kemudian perlu mencari penghasilan lain; penghasilan yang lagi-lagi dikutip dari orang tua siswa. Contoh sederhana adalah apa yang dialami kampus-kampus negeri di mana biaya kuliah begitu membumbung tinggi. Meski menggunakan nama beragam dalam merekrut calon mahasiswa, ujung-ujungnya tetap saja pengenaan biaya. Swastanisasi pendidikan inilah yang kemudian memicu berbagai kalangan pemegang kebijakan dalam dunia pendidikan membisniskan pendidikan. Maka, di perguruan tinggi misalnya, ditawarkanlah berbagai program pendidikan. Dari mulai diploma 1-3, S1 reguler dan ekstensi, magister kelas bisnis dan eksekutif, S3, bahkan membuka pelatihan. Semuanya itu hanya bertujuan untuk menggali dana sebanyak-banyaknya tanpa pernah mempersoalkan dan bertanggung jawab atas lulusannya.

Hal serupa juga terjadi di tingkat lebih bawah. Fenomena maraknya TK unggulan, SD unggulan, SMP unggulan, hingga SMA unggulan yang menarik biaya sangat mahal adalah contoh sederhana betapa pendidikan tidak pernah berpihak kepada kaum miskin.

***

MENGAPA swastanisasi pendidikan terjadi sehingga akhirnya sekolah menjadi mahal? Menurut Eko, hal demikian terjadi karena negara malas mengambil peran. Anggaran pendidikan yang jauh lebih murah ketimbang anggaran pertahanan, misalnya, menunjukkan betapa penguasa tidak mamiliki kepekaan terhadap persoalan pendidikan. Pendidikan yang berulang-ulang disebutkan dalam konstitusi ternyata cuma pemanis saja (hal 29).

Padahal, dengan membuat mahal sekolah, yang terjadi adalah pendidikan akhirnya hanya penyumbang utama peningkatan populasi orang miskin. Apalagi jika dilihat keberhasilan sekolah dalam mencetuskan pengangguran, maka komplitlah tuduhan kita semua bahwa sekolah hanya akan membuat spiral kemiskinan tak berujung.

Dari berbagai hal seperti di atas, salahkah kemudian bila dikatakan sekolah ternyata hanya untuk orang kaya saja? Realitas empiris barangkali akan lebih dapat menunjukkan jawabnya. Maka, tuntutan buku ini sederhana, pendidikan wajib murah! Pendidikan mutlak harus dapat dijangkau oleh mereka yang miskin. Posisi orang miskin yang selama ini terlantar perlu dibangkitkan dan negara yang pertama kali perlu mengambil tanggung jawab. Dengan demikian, dapat dihindari komersialisasi pendidikan yang hanya berorientasi pada pengerukan keuntungan semata.

Gagasan yang dituangkan penulis dalam buku ini barangkali akan lebih tajam dan lebih komprehensif ketika kita membandingkanya dengan buku McDonaldisasi Pendidikan Tinggi yang dieditori Heru Nugroho (2002). Walaupun buku itu lebih menyoroti komersialisasi di pendidikan tinggi, tetapi analisis di dalamnya dapat digunakan untuk melihat fenomena komersialisasi pendidikan secara umum. Kombinasi di antara kedua buku tersebut kiranya dapat menyadarkan kita bahwa yang sangat dibutuhkan lembaga pendidikan masa depan adalah kembali ke jati diri dalam arti sesungguhnya, yakni tumbuhnya lembaga pendidikan yang profesional, milik publik, dan yang paling penting adalah sebagai lembaga pendidikan yang berada di negara miskin, yang karenanya harus memperjuangkan kelompok masyarakat yang terpinggirkan.